Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

[CERPEN] Harmonika Sang Pejuang






Selesai. Semua kisah telah usai. Jangan lagi bertanya pada si lelaki tua di ujung jalan sana. Dia merasa sudah menceritakan semuanya. Tentang siapa namanya, di mana keluarganya, dan ... bagaimana kisah hidupnya.

Jika kau kembali bertanya, dia tidak akan menjawab. Percuma. Dia lebih suka kau mendengarkan nada-nada minor yang keluar dari benda persegi panjang penuh lubang itu. Dia lebih suka kau menikmati iramanya. Dia lebih suka kau diam.

Jadi, jangan bertanya. Biarkan nada-nada itu yang akan menjawab semuanya.

Semuanya.

***

            Masa itu. Di mana segala hal terasa lebih sulit. Di mana keinginan dalam hati setiap orang yang terjajah sangat besar. Besar sekali.

            Kami, saat itu. Tidak punya pikiran akan pulang dengan selamat. Tidak punya pikiran kembali berkumpul bersama keluarga. Tidak punya pikiran apa nanti malam bisa tidur nyenyak. Apalagi makan enak.

            Kami, saat itu. Hanya punya satu pikiran. Mengusir para penjajah agar kami bisa hidup tenang. Di tanah air kami sendiri. Tanpa merasa terusik dan menderita. Merasa benar-benar merdeka.

            Ah, merdeka. Satu kata yang sudah lama kami impi-impikan.

            "Bung, cepat bergerak! Musuh kita sudah dekat. Ambil apapun yang bisa dijadikan senjata. Meski ranting pohon sekalipun," perintah Sang Kapten terdengar jelas ke gendang telinga seluruh pasukannya. Kami menurut, patuh. Mengambil apa saja yang ada di dalam hutan untuk dijadikan senjata.

            Malam terasa mencekam. Bulan dipaksa bersembunyi di balik awan. Gelap. Hanya cahaya seadanya dari lampu-lampu obor. Kami terus bergerak.

            "Saudara-saudara semua, sudah siapkah kita melawan mereka? Melawan orang-orang yang dengan sombongnya mengambil tanah kita. Tanah tempat kita dilahirkan. Sudah siapkah kita?" Suara Sang Kapten lagi-lagi terdengar. Kali ini lebih keras. Membakar semangat kami. Para pejuang muda yang ikut mengorbankan jiwa raga bersama-sama.

            "Mari kawan, kita rebut kembali tanah kelahiran kita! Aku tidak sabar ingin membangun rumahku yang hancur itu. Padahal sudah berbulan-bulan aku menyicil tanah demi rumah yang akan kutinggali bersama istriku kelak. Siapa yang tahu kalau akan jadi seperti ini," kata Kosim. Satu-satunya sahabat seperjuanganku. Aku dan dia berasal dari daerah yang sama. Daerah yang kini akan kami rebut kembali dari tangan kotor para kompeni.

            Aku mengangguk, tentu saja. Tanganku sudah gatal ingin menghabisi orang-orang yang membunuh teman-temanku, bahkan keluargaku.

            "Saudara-saudara semua, sepertinya cuacanya tidak bagus. Apakah kita akan tetap menyerang? Atau menunggu sampai selesai dini hari?" tanya Sang Kapten. Namun jawaban kami semua sama: Tidak! Kita akan menyerang. Sekarang atau tidak sama sekali.

            "Baik. Mari terus bergerak. Bersiaplah. Di depan sana musuh sudah menunggu," kata Sang Kapten mengingatkan. Aura ketegangan yang menyelimuti kami meningkat berkali-kali lipat. Kulihat Kosim, sepertinya dia sangat bersemangat sekali. Kain merah putih yang terikat di kepalanya dikencangkan. Aku juga tidak mau kalah. Kupegang kuat-kuat bambu runcing yang kuambil dari hutan tadi. Bersiap atas segala kemungkinan.

            "Tan!" Tiba-tiba Kosim memanggilku. Aku menoleh. Menunjukkan raut wajah yang seakan berkata apa. Dia tersenyum. Mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. "Aku titip ini. Takut-takut kalau aku malah tidak akan pernah kembali. Jaga barang ini ya, Tan. Tanda persahabatan kita."

            Kosim memberiku sebuah benda persegi panjang dengan banyak lubang. Aku tidak bisa melihat jelas warnanya. Tapi lewat remang cahaya obor aku yakin itu merah. Tanda keberanian dan semangat.

            Aku sebenarnya tidak suka Kosim berkata begitu. Itu membuat kesan seolah-olah dia tidak akan pernah kembali. Seolah-olah kami akan benar-benar berpisah. Aku tidak suka.

            Belum sempat aku menolak pemberiannya, suara Sang Kapten kembali mengumpulkan perhatian kami. Ternyata kami sudah sangat dekat.Terlihat dari besarnya cahaya di depan sana. Terpaksa aku menerima barang itu. Nanti akan kukembalikan setelah selesai pertempuran. Karena aku yakin, kami pasti akan sama-sama kembali.

            "Berpencar!" Kini suara Sang Kapten tidak lagi menggelegar. Tidak keras, tapi tetap tegas. Dengan tanggap kami segera berpencar. Mengepung daerah lawan yang terletak di tengah-tengah hutan. Untungnya gelap malam sedikit membantu. Obor dimatikan. Membuat suasana semakin mencekam.

            "Terima kasih, Tan."Aku sungguh tidak menyadari suara itu. Terlalu fokus menunggu Sang Kapten yang melihat keadaan. Bersiap memberikan aba-aba serang.

            "Serang!" Akhirnya, pertempuran pecah. Musuh gelagapan. Benar-benar tidak menduga kalau akan ada pertempuran besar-besaran. Ini membuat kami lebih mudah menyerang. Terselip rasa bangga di setiap hati kami, kalau sebentar lagi kami menang. Sebentar lagi, kami bebas. Hidup sejahtera di tanah kelahiran kami.

            Namun, keadaan ternyata tidak sebaik yang kami harapkan. Musuh segera sadar. Suara tembakan dan rentetan peluru menembus setiap dada-dada kami. Banyak yang tumbang, tapi tidak sedikit juga yang berhasil. Kami imbang.

            Aku tidak menyadari, bahwa bahaya sangat dekat. Seorang prajurit lawan membidikkan pelurunya ke arahku.

            Kena! Bukan aku, tapi sahabatku. Kosim! Dadanya mengeluarkan darah segar. Namun lelaki kurus itu belum juga menyerah. Dia malah lari menyerang prajurit itu. Memukul kepalanya dengan bambu runcing. Menusuk jantungnya dengan pisau lipat. Jatuh. Prajurit itu meninggal di tempat.

            Sementara Kosim, ia masih sanggup berdiri. Aku panik, segera lari menghampiri. Namun raganya sudah tidak kuat. Dia ikut bersama teman-teman kami ke surga.

            Beruntung, meninggalnya tidak sia-sia. Sang Kapten berteriak, "Merdeka!". Pertempuran telah berakhir. Kami menang. Tanah kami kembali.

            Aku menangis, sangat sedih. Sahabatku telah tiada. Meninggal dengan cara terhormat. Berkorban demi bangsa dan tanah kelahirannya. Berkorban demi aku, sahabatnya.

            Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Benda persegi panjang penuh lubang itu. Aku berjanji akan menjaganya.

            "Ayo kita kuburkan saudara-saudara kita. Mereka pasti senang, dikubur di tanah kelahirannya sendiri," kata Sang Kapten. Kali ini dengan intonasi lebih rendah dan dalam.

            Masa itu, hari itu. Kami berduka karena kehilangan banyak saudara dan kawan. Namun kami juga mengucap syukur karena tanah kelahiran kami telah kembali.

            Kini, siapkah kami menghadapi pertempuran selanjutnya?

***

            Lelaki tua itu berhenti. Menghela napas pelan. Kenangan masa itu tidak akan pernah terhapus dari ingatan. Sampai matanya terpejam lama. Sampai dirinya kembali bertemu dengan sahabatnya di surga.

            Dia kembali menatap benda persegi panjang penuh lubang itu. Harmonika yang sama tuanya dengan usianya kini. Warna merahnya pudar. Tidak lagi menantang berani. Tidak lagi mengeluarkan semangat.

            Hanya nada-nada minor nan menyayat hati. Sebagai iringan meratapi takdir. Bukan takdir diri sendiri, tapi takdir bangsanya. Tanah airnya.

            Padamu negeri, kami berjanji

            Padamu negeri, kami berbakti

            Padamu negeri, kami mengabdi

            Bagimu negeri, jiwa raga ... kami
Faqihah Husnul Khatimah
Faqihah Husnul Khatimah Portal berita dan cerita mahasiswa jurnalistik

Posting Komentar untuk "[CERPEN] Harmonika Sang Pejuang"